Langsung ke konten utama

tempatbaca

Material-Material Atap

MAKALAH MATERIAL ATAP Di Susun Oleh: ARIF FIKRI (170701094) HARYATI (170701082) Dosen Pembimbing : FEBRIANSYAH, M. Arch Mata Kuliah Konstruksi Bangunan Dan Material 1 Prodi Arsitektur Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Ar-Arraniry 2018

BAGAIMANA BUDAYA MASYARAKAT ACEH MEMPENGARUHI DESAIN ARSITEKTUR BANGUNAN

Disusun Oleh:

NAMA: ARIF FIKRI
NIM: 170701094

Dosen Mata Kuliah:
Teuku Alaidinsyah, M.Eng

Mata Kuliah Rancangan Penelitian
Prodi Arsitektur Fakultas sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Ar-raniry
2020


1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai kebudayaan pun mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi perilaku masyarakat dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dengan arsitektur rumah atau tempat tinggal. Wangsadinata dan Djajasudarma (1995) menyebutkan perkembangan arsitektur merupakan manifestasi dari keinginan (hasrat) manusia ke arah yang lebih baik. Mereka menyebutkan arsitektur merupakan sebuah produk hasil adaptasi atau respon umat manusia terhadap perkembangan budaya, ekonomi, lingkungan, dan gaya arsitektur.

Hal ini dapat dilihat dengan munculnya desain arsitektur modern pada rumah-rumah tinggal tidak saja pada kawasan perkotaan tetapi juga pada daerah-daerah perdesaan. Sebagaimana yang disebutkan bahwa arsitektur merupakan sebuah proses yang kompleks dari perkembangan umat manusia, seiring dengan berubahnya berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, ekonomi, lingkungan alam maka gaya serta penampilan arsitektur menjadi simbol meningkatnya status seseorang dari berbagai hal. Simbol-simbol yang menandakan terjadinya perubahan-perubahan nilai-nilai dalam masyarakat ini dimanifestasikan dalam desain rumah tinggal yang khas serta unik yang membedakan dengan desain yang ada di sekitarnya. Selain itu perubahan masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris ke dalam komunitas industrial turut menyumbang perubahan gaya hidup masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai hal termasuk di dalamnya arsitektur rumah tinggal.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam maklah ini meliputi:
1. Apa bubungan antara arsitektur dengan kebudayaan?
2. Bagaimana budaya masyarakat Aceh mempengaruhi desain arsitektur bangunan?
3. Apakah bangunan tradisional Aceh bisa dijadikan konsep dalam merancang dan
membangun dimasa mendatang?

1.3 Tujuan Pembahasan

Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui:
  1. Menjelaskan hubungan antara arsitektur dan kebudayaan.
  2. Menjelaskan bagaimana budaya masyarakat Aceh mempengaruhi desain arsitektur bangunan.
  3. Mengetahui bentuk-bentuk kearifan lokal yang bisa dijadikan sebagai konsep dalam merancang dan membangun dimasa mendatang.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Arsitektur Dan Kebudayaan

Kebudayaan adalah pola bagi kelakuan, artinya Kebudayaan mengatur manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikap kalau berhubungan dengan orang lain. Bila manusia hidup sendiri maka tidak ada manusia lain yang merasa terganggu oleh tindakan-tindakannya. Tapi setiap orang bagaimanapun hidupnya akan selalu menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. Kebiasaan tersebut merupakan pola tingkah laku pribadi. Jadi setiap orang akan membentuk kebiasaan yang khusus bagi dirinya sendiri. Dengan adanya kebudayaan, terwujud suatu kelakuan untuk memahami dan menafsirkan lingkungan yang dihadapi. Kelakuan ini menghasilkan benda-benda purba kebudayaan yang dalam pembahasan ini adalah karya.

2.2 Bagaimana Budaya Masyarakat Aceh Mempengaruhi Desain Arsitektur Bangunan

Rumoh Aceh berkembang berdasar konsep kehidupan masyarakat Islam yaitu suci. Konsep suci ini menyebabkan rumoh Aceh berdiri di atas panggung. Dari segi nilai-nilai agama, berbagai sumber menyebutkan bentuk panggung ini untuk menghindari binatang yang najis seperti anjing. Selanjutnya mengenai peletakan ruang kotor seperti toilet atau area basah seperti sumur. Berdasar cerita nenek moyang masyarakat Aceh, toilet dsn sumur harus dibuat jauh dari rumah.


Konsep selanjutnya adalah penyesuaian terhadap tata cara beribadah dalam agama Islam. Kebiasaan Shalat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang mengikuti arah kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang bersholat. Kemudian peletakan tangga (reunyeun atau alat untuk naik ke bangunan rumah) juga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga ditempatkan di ujung timur atau dibawah kolong rumah. Reunyeun ini juga berfungsi sebagai titik batas yang boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ‘pantang dan tabu’ bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk naik ke rumah.


Konsep ukhuwah Islamiah atau hubungan antar warga yang dekat dan terbuka menyebabkan jarak rumoh Aceh yang relatif rapat dan tidak adanya pagar permanen atau pun tidak ada pagar sama sekali di sekitar area rumoh Aceh. Selain konsep filosofi Islam, pada dasanya berbagai bentukan di dalam rumoh Aceh merupakan hasil respon penghuni terhadap kondisi geografis. Rumoh Aceh yang memiliki tipe berbentuk panggung memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Sehingga rumah panggung dapat dimanfaatkan sebagai sistem kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuni dari banjir, binatang buas, dan
orang asing.

Selain konsep filosofi Islam, pada dasarnya berbagai bentukan di dalam rumoh Aceh merupakan hasil respon penghuni terhadap kondisi geografis. Rumoh Aceh yang memiliki tipe berbentuk panggung memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong. Sehingga rumah panggung dapat dimanfaatkan sebagai system kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuni dari banjir, binatang buas, dan orang asing. Berbagai konsep tersebut akhirnya dapat membentuk beragam bentuk rumoh Aceh.


Dari jenisnya, rumoh Aceh sebenarnya memiliki dua jenis rumah, yaitu rumoh Aceh dan rumoh santeut (datar) atau tampong limong atau rumah panggung. Memang kebiasaan penyebutan rumoh Aceh dalam masyaraka Aceh hanya untuk rumah yang sangat tinggi seperti yang terdapat di Museum Aceh. Perbedaan penyebutan rumoh aceh dan rumah panggung yang sangat kontras karena ketinggian lantai panggung ini menyebabkan salah pemahaman dari definisi pada masa lalu dan mendorong pengeklusifan rumoh aceh hanya sekedar miniatur yang dipajang di Museum Aceh. Untuk meluruskan kembali istilah rumoh Aceh perlulah kiranya ditegaskan kembali bahwa pengertian rumoh Aceh adalah bangunan tempat tempat tinggal (Hadjah:1985), yang dibangun di wilayah Aceh, berbentuk panggung (1-5 meter), berbahan kayu, dan berornamen maupun tidak.


Berawal dari pekarangan (leun rumoh) yang seperti menjadi milik bersama (konsep ukhuwah Islamiah), setiap bangunan rumah biasanya terdiri dari ruang seuramo likeu (serambi depan), jure (ruang keluarga), seuramo likot (serambi belakang), dan dapue (dapur). Di bagian bawah rumah (lantai satu atau kadang disebut kolong rumah) dibiarkan kosong dan terbuka atau diberi panteu (sebuah tempat duduk menyerupai meja berbahan bambu atau kayu) atau digunakan untuk meletakkan alat-alat yang terkait dengan mata pencaharian sehari-hari atau dipakai untuk melakukan mata pencaharian seperti membuat kain tenun atau digunakan untuk tempat lumbung padi (krong) atau digunakan untuk kandang hewan peliharaan. Ruang utama atau rambat diisi dengan hamparan tikar ngom lapis tikar pandan. Kondisi ini memberikan keleluasaan ruang sehingga bisa multifungsi dan memberi sirkulasi udara yang baik. Secara kualitas ruang, ruang utama seperti ini juga mampu menghadirkan suasana kehangatan
persaudaraan.


Demikianlah, bagi masyarakat Aceh baik nenek moyang maupun warga yang masih menempati rumoh Aceh hingga saat ini, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah yang menyebabkan pendirian rumah harus melalui beberapa tata cara tertentu, seperti pemilihan hari baik yang ditentukan oleh teungku (ulama setempat) dan pelaksanaan kenduri dengan upacara peusijuk. Rumoh Aceh mampu bertahan hingga ratusan tahun tentunya didukung oleh konstruksi yang kokoh dan mutu bahan bangunan yang berkualitas. Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumoh Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24.


Apresiasi seni penghuni rumoh Aceh sangat tampak pada berbagai motif seni rupa yang tampak pada elemen-elemen rumoh Aceh. Contohnya pintoe (pintu) rumoh Aceh yang didesain hanya setinggi 120-150 cm seperti menyadarkan sikap yang baik untuk saling menghormati terutama kepada pemilik rumah. Pintu sebagai salah satu elemen rumah yang dipercayai memiliki nilai filosofi yang tinggi ini mendorong terbentuknya seni rupa unik. Hal ini membentuk ungkapan yang sangat terkenal di masyarakat Aceh yaitu “Pintoe rumoh Aceh ibarat hati orang Aceh, sulit untuk memasukinya namun begitu masuk akan diterima dengan penuh lapang dada serta kehangatan”. Bahkan motif ini tidak hanya digunakan pada elemen bangunan, namun pada pakaian hingga ke perhiasan.


3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan penafsiran terhadap data lapangan yang diperoleh. Proses penafsiran tersebut didasarkan dengan referensi-referensi lokal yang berasal dari nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat Aceh. 

Proses pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi langsung terhadap rumoh Aceh, dokumentasi objek penelitian dan melakukan wawancara terhadap tokoh budayawan Aceh, akademisi arsitektur dan terhadap tokoh budayawan Aceh, akademisi arsitektur dan utoh (pelaku arsitektur rumoh Aceh ). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika struktural dari Ferdinand de Saussure untuk mengurai tanda yang terdapat pada arsitektur

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotika struktural dari Ferdinand de Saussure untuk mengurai tanda yang terdapat pada arsitektur rumoh Aceh tersebut.

Tahapan Penelitian
1. Tahap Observasi
Tahap pertama yang akan dilakukan adalah observasi lapangan yang akan dilakukan pada beberapa rumoh aceh untuk mencari persamaan elemen-elemen yang akan diteliti. Pada tahapan ini akan dilakukan pengumpulan data dengan foto dan sketsa serta mengukur rumah.
2. Tahap wawancara
Tahapan selanjutnya adalah wawancara dengan tokoh yang mengerti tentang sejarah rumoh aceh serta tukang-tukang yang berpengalaman dalam membangun rumoh aceh untuk mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan dalam mengkaji pengaruh kebudayaan dalam membangun rumoh aceh.
3. Tahap studi literature
Informasi juga akan diperoleh dari studi literature sebagai perbandingan dengan hasil obeservasi dan wawancara.
4. Tahap Analisis
Data yang telah diperoleh dari ketiga tahapan diatas akan digabungkan dan berdasarkan variable penelitian nantinya akan dianalisa kearifan local apa sajakah yang dapat diteruskan untk dipergunakan dalam desain masa kini.

https://blocksmash.io/?invite=680522

Komentar